Ibnu Nafis adalah salah satu cendekiawan islam penemu ilmu peredaran darah dalam dunia kedokteran. Ada sementara kalangan yang menyatakan, mengungkap kejayaan Islam dalam bidang sains di masa lalu tak lebih sekadar kenangan belaka. Lebih banyak mudharatnya. Sepintas, klaim seperti itu mungkin ada benarnya. Tapi, bila dikaji lebih akurat lagi dan mendalam, pengungkapan kembali masa keemasan Islam, terutama di era abad pertengahan itu, sebenarnya mengandung pesan penting, bahwa selama ini telah terjadi semacam distorsi sejarah terkait penemuan-penemuan para Ilmuwan Muslim di masa lalu.
Yang paling dikenal saat ini tentu saja penemuan-penemuan ilmuwan Barat, dalam banyak bidang. Padahal, jauh sebelum ilmuwan Barat itu menemukan satu teori, teori tersebut telah ditemukan ratusan tahun sebelumnya oleh putra-putra terbaik Islam. Di sinilah relevansi pengungkapan kembali khazanah yang ’dilenyapkan’ oleh penulisan sejarah secara sepihak itu. Meluruskan sejarah, kira-kira begitu.
Salah satu yang menjadi korban distorsi sejarah itu adalah Ibnu Nafis. Pakar kedokteran yang bernama lengkap ’Alauddin Abu Hassan Ali Ibnu Abi Al-Hazm Al-Qurasi ini, dikenal sebagai ahli di bidang peredaran darah paru-paru. Sejauh ini, ilmuwan yang dikenal khalayak sebagai penemu teori peredaran darah paru-paru adalah ilmuwan kedokteran asal Inggris bernama William Harwey (1578-1675 M).
Selain Harwey, ada ilmuwan Barat lainnya yang juga mengklaim sebagai penemu bidang ini, yakni Michael Servetus, dan beberapa ilmuwan lainnya. Padahal, 300 tahun sebelumnya, seorang ulama yang juga dokter Muslim asal Mesir telah berbicara dan cukup mendetil mengungkap teori tersebut. Ibnu Nafis, ilmuwan Muslim inilah yang mengungkap dan menemukan teori tersebut.
Ibnu Nafis dilahirkan di kota Damaskus, Syria pada tahun 1210 M. Dibesarkan dalam keluarga yang tat beragama, Ibnu Nafis tumbuh di kota kelahirannya yang saat itu cukup kondusif bagi dinamika dan perkembangan intelektualisme. Talentanya terhadap ilmu pengetahuan dan sain telah terlihat sejak kecil.
Menurut Hussein Haekal dalam bukunya At-Tarikh Al-Islami (Kaira, 1970), ketertarikan ilmuwan Muslim ini semakin besar sejak ia berguru pada beberapa ulama terkenal, khususnya dalam bidang sains dan kedokteran. Haekal mencatat, di antara beberapa guru yang amat berjasa dan berpengaruh dalam kehidupan keilmuannya adalah, Syekh Al-Dahwar, Radhiuddin Rahabi, dan Umran Isra’ili.
Sejak inilah, perkembangan mendasar dialami Ibnu Nafis. Bagai tak pernah puas, menginjak dewasa, Ibnu Nafis berpetualang ke Kairo, Mesir. Tak jelas, tahun berapa ia ke negeri Piramid ini. Namun, seperti ditulis pakar sejarah Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer (2002), Ibnu Nafis menapaki secara mendalam dunia keilmuan, khususnya pada bidang kedokteran.
Konsistensinya pada bidang yang digelutinya ini, ditulis Azyumardi, ia buktikan dengan membaktikan dirinya pada sebuah rumah sakit Nasiri di kota Kairo. Tak sia-sia, karir Nafis cukup bagus. Puncaknya, ketika ia dipercaya menjadi direktur RS tersebut. Seperti kebanyakan ilmuwan Muslim lainnya, selain menguasai bidang yang ditekuninya semisal Ibnu Sina yang bapak kedokteran tapi juga ahli dalam ilmu fikih, filsafat dan disiplin agama lainnya, demikian halnya dengan Ibnu Nafis.
Selain dikenal pakar peredaran darah paru-paru, Ibnu Nafis juga seorang alim yang menguasai ilmu fikih, filsafat, serta ilmu bahasa, yakni gramatika. Tak hanya itu, Ibnu Nafis juga hafal Al-Qur’an dan menguasai banyak Hadits Nabi SAW. Kepada dua sumber utama inilah, selalu ia merujuk setiap teori dan karya yang ia temukan.
Seperti disinggung di atas, Ibnu Nafis menemukan teori peredaran darah paru-paru terungkap dalam karyanya berjudul Syarah Tasyrif Qonuun (Penjelasan Kitab Qanun). Karya Nafis ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari uraian anatomi Ibnu Sina (w.1037) dalam kitabnya Al Qanuun. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Nafis antara lain menulis, secara terperinci paru-paru itu terdiri dari unsur-unsur: cabang-cabang trachea (buluh pernafasan), cabang-cabang arteria venosa dan cabang-cabang vena arteriosa. Ketiga unsur-unsur tersebut dirangkaikan oleh jaringan lunak berpori.
Pentingnya vena arteriosa bagi paru-paru, tulis Nafis, ada;ah membawa darah yang telah dimurnikan dan dihangatkan oleh jantung bagian kanan. Darah tersebut lalu mengalir dalam cabang-cabang terhalus vena arteriosa hingga kantung-kantung udara (atau yang lebih populer dengan nama alveolus MS), sehingga bercampur dengan udara dan bergabung dengannya.
Sementara fungsi arteri venosa untuk paru-paru dengan demikian adalah membawa udara yang telah bergabung dengan darah, dari paru-paru dengan ke bilik kiri jantung. Di tempat inilah dihasilkan substansi vital dari percampuran dan gabungan tersebut.
Menurut Nafis, pendapat Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Qonuun yang menyebutkan bahwa jantung terdiri dari 3 bagian tidaklah tepat. Jantung, kata Nafis, hanya memiliki 2 bilik saja, yakni kiri dan kanan. Antara keduanya tidak ada pori-pori apa pun. Bahkan dinding yang memisahkannya sangat tebal.
Pada konteks ini pula, ia melengkapi teori Sina yang menyatakan, jantung memperoleh makanan dari darah yang berasal dari bilik kanan. Sebenarnya hal ini tidak benar. Jantung, urai Nafis, mendapatkan makanan dari darah yang terdapat dalam pembuluh-pembuluh darah yang terbenam dalam substansi jantung tersebut.
Pembuluh darah yang terbenam itu, di kemudian hari dikenali sebagai arteri koronaria, suatu pembuluh nadi yang amat vital. Menurut Nafis, sumbatan pada pembuluh darah ini akan menyebabkan serangan jantung secara mendadak. Dari uraiannya tersebut dapat disimpulkan bahwa Nafis melihat jantung dan paru-paru secara konprehensif.
Menurutnya, paru-paru dan jantung merupakan dua unsur tak terpisahkan dari suatu kesatuan yang kini lebih dikenali orang sebagai kardio pilmoner (sistem jantung paru-paru). Makna uraian Nafis ini pada konteks modern sekarang ini dinilai amat penting mengingat perkembangan dunia kedokteran yang kian maju dengan ditemukannya pelbagai teori baru. Nafis telah merintis fondamen-fondamen bagi teori baru kedokteran tersebut.
Selain itu, Nafis juga menyatakan bahwa fungsi paru-paru yang terdiri atas tulang rawan adalah untuk membawa udara yang telah terpakai. Jaringan lunak berfungsi untuk mengisi rongga antara ketiga unsur, yakni trachea, arteria venosa dan vena arteriosa, dan meyatukannya sehingga terbentuk alat tubuh yang bernama paru-paru, Nafus juga menguraikan tentang struktur halus paru-paru, baik tentang struktur halus paru-paru, baik tentang unit terkecil anatomis maupun fungsional.
Uraiannya tentang hal ini amat menakjubkan dan dibenarkan jauh hari kemudian oleh berbagai penelitian mikro-anatomi. Tak hanya itu, penjelasan terperinci Nafis tentang peredaran paru-paru juga amat mengesankan dan terbukti dibenarkan oleh pembuktian penelitian di kemudian hari.
Menurut Dr. Sharif Kaf Al-Ghazal, dokter dan pendiri sekaligus anggota dewan eksekutif The International Society for History of Islamic Medicine, dalam tulisannya disitus Islamonline edisi Agustus 2002, bahwa penjelasan Nafis soal ini jauh sebelum Servetus mengungkapkannya (300 tahun sebelumnya), yang hanya menyinggung sepintas dalam suatu uraian tentang teologi.
Di atas semua teori yang telah ditemukannya itu, Ibnu Nafis telah membuktikan penemuan amat mengagumkan dalam dunia sains dan kedokteran yang mengilhami perkembangan dan kemnjuan kedokteran modern. Ilmuwan yang ulama ini wafat di Kairo, pada 1288 M. Nafis dan Karya Tak hanya produktif dalam karya, prestasi yang diraih Nafis dalam bidang kedokteran bahkan dinilai banyak kalangan menjadi titik tolak tak terhingga dalam dunia kesehatan secara umum. Bahkan, dalam bidang pengobatan, Nafis jauh lebih spektakuler dibanding Ibnu Sina yang dinilai sebagai Bapak Kedokteran modern itu.
Tak berlebihan memang pujian itu. Nafis misalnya dalam bidang pengobatan lebih membiasakan pada pola diet ketimbang obat-obatan yang rumit yang dianggap obat paten di masa itu. Memang ia tak hanya pandai berteori.
Ibnu Nafis juga kaya akan karya. Puluhan buku telah ia tulis, baik di bidang keislaman maupun kedokteran. Dalam bidang kedokteran misalnya, yang paling populer adalah berjudul Al-Kitab As Syamil fil Tibb (Kitab Lengkap dalam Bidang Kedokteran). Kitab ini dinilai amat mendasar dan besar pengaruhnya dalam sistem pengobatan modern.
Tak hanya itu, karya Nafis tersebut juga merupakan ensiklopedi kedokteran terlengkap, yang menurut Dr. Sharif Kaf Al-Ghazal, bila dirampung seluruhnya akan mencapai 300 jilid. Sayang ajal menjemputnya, kala itu. Hingga hayatnya, baru selesai 80 jilid. Beberapa di antara masih dapat dijumpai di perpustakan internasional, seperti di perpustakaan Bodley, Oxford. Karya Nafis lainnya, yakni Al-Mahaddah fil Al Kuhul. Kitab ini menguraikan tentang oftalmologi, yakni suatu penyakit mata. Ia juga menulis tentang makanan dan sistem diet.
Bukunya berbicara soal ini berjudul Al-Mukhtar min Al-Aghdiya. Selain itu, ia juga menulis buku berjudul Syarah Fushul Ibungrat (soal aphorisme Hippocrates), buku Syarah Jaqdimat Makrifat (komentar tentang prognosis Hipprocrates). Ia menulis syarah Hunain Ibnu Ishaq, dokter besar yang menterjemahkan karya-karya Yunani ke bahasa Arab, berjudul Syarah Masail Hunain Ibnu Ishaq, serta Al Muiz Al-Tibb, dan Al-Hidayah fi Al-Tibb. Sebagian karyanya tersebut, telah dialihbahasakan keberbagai bahasa latin, seperti Italia, Perancis, Inggris, dan Rusia.
Betul, banyak sekali distorsi sejarah terkait penemu2 Islam. Hal itu penting dikaji agar menghilangkan kesan superior bangsa barat yang banyak bercokol di pikiran2 orang Islam zaman sekarang. Umat Islam harus lebih percaya diri, karena mereka sudah dinobatkan sebagai "sebaik-baiknya umat" oleh Pencitpa Seluruh Alam.